Sepasang Mata di Gerbong Kereta

Waktu sudah menuju tengah malam saat aku berjalan menyeret di antara bebatuan rel kereta. Nyeri di tulang kering kaki kanan semakin menjadi ketika ia kupaksa berjalan sedikit lebih cepat lagi. Ini semua karena supir Metromini 049 keparat yang terburu-buru melaju sebelum aku sempat mantap menapakkan kaki ke tanah saat turun tadi.

Jadilah sekarang aku melangkah terseok dengan satu tangan memegangi paha dan sebelah lainnya setengah meremas bagian perut. Ah! Ya, setelah berjalan agak jauh kian terasa laparku. Sekali lagi aku memaki supir Metromini yang membuatku terjatuh hingga pecah sudah sebungkus bakso yang kubeli di dekat kantor sebelum pulang.

Di tengah galaunya isi kepala yang sibuk mengutuk supir Metromini, aku menyadari ada sepasang mata mengintip dari dalam gerbong tua yang sudah pensiun di sudut terbengkalai stasiun Manggarai. Sepasang mata tersebut bukan hal baru bagiku. Lewat sebulan sudah berjalan sejak aku pindah kamar kost ke perkampungan di balik stasiun padat ini.

Masih kuingat kali pertama ia mengintip dari balik lubang gerbong kereta usang, aku lompat terkejut hingga jatuh ke bebatuan tajam di sela jalur kereta. Sesaat kemudian kudengar suara tawa pemilik sepasang mata tersebut, barulah kusadari ia adalah sepasang mata seorang bocah perempuan. Beberapa kali setelahnya, setiap melewati gerbong tua tersebut, selalu kusempatkan berhenti dan membuat beberapa ekspresi muka lucu untuk menghiburnya. Namun tak pernah kudengar lagi suara tawa seperti pertama ia hadir mengejutkanku.

Malam ini ia kembali hadir, namun aku terlalu letih menahan sakit di kaki untuk menyempatkan berhenti. Dengan langkah teramat pelan, aku berjalan melewatinya. Namun belum genap dua langkah melewati gerbong tua tempatnya bersembunyi, kudengar suara ketukan halus dari dalam. Aku berhenti dan melangkah mundur, mendekatkan mataku dengan sepasang mata yang masih mengintip tanpa berkedip.

Aku menatapnya lekat-lekat sambil mengernyitkan dahi. Tiba-tiba sepasang mata tersebut menghilang dan lubang menunjukkan secercah cahaya dari dalam gerbong yang tertutup rapat. Tampak bayangan sepasang lelaki gendut namun tegap dan perempuan berumur yang tubuhnya tak lagi sedap dipandang. Aku terkejut, keduanya tengah bersenggama dengan penuh birahi.

Samar-samar kudengar si lelaki bertanya dengan nafas terengah-engah, “Anakmu gak papa ngeliat kita kayak gini? Aku risih.” Namun perasaan risih si lelaki tidak membuatnya menghentikan genjotan pinggulnya di atas badan si perempuan.

“Tak bisa lihat dia. Buta dari lahir, ” jawab si perempuan juga dengan nafas tersengal.

“Anjing!” Tanpa sadar aku menggumamkan sebuah makian. Rupa-rupanya suaraku tak sepelan dugaan, lelaki berpenampilan seperti preman itu menghentikan gerakannya dan tak berapa lama terdengar suara gaduh ketika ia mengambil pakaiannya dengan cepat. Tanpa berpikir dua kali, aku berlari sekuat tenaga seolah lupa bahwa kaki kananku sedang menahan sakit setengah mati.

Tak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah kost. Cepat kukunci kamar dan segera membuka celana dan baju, lalu melemparkan diri ke atas kasur. Siluet pasangan tak bermoral tadi seperti tayangan sebuah film di kepalaku, terus berputar tanpa tombol berhenti. Biadab. Biadab. Biadab. Biadab. Biadab. Biadab. Biadab. Biadab. Seperti sebuah dzikir doa, makian itu terngiang di kepalaku hingga tertidur.

***

Jam stasiun menunjukkan pukul sepuluh malam saat aku berjalan menyusuri rel kereta api. Dalam beberapa puluh meter, aku akan melewati gerbong kereta tua tempat kutemukan sepasang mata yang ternyata milik seorang bocah tuna netra.

Seminggu sudah berlalu sejak kejadian itu, sepasang matanya tak pernah hadir lagi di sana. Kini lubang gerbong usang tersebut telah ditutup rapat oleh potongan kardus Indomie. Harap-harap cemas kulewati lubang tempat ia biasa mengintip. Kutempelkan telinga ke gerbong yang dingin, namun senyap saja yang terdengar dari dalam, kalah dengan riuh aktivitas stasiun yang tertinggal di belakang. Dengan langkah gontai, kulanjutkan perjalanan pulang.

Keesokan pagiku dimulai dengan pikiran yang kalut. Delapan jam penuh aku tidur namun terbangun dengan perasaan lelah tak terkira. Butuh waktu sejam lebih untuk mengumpulkan tenaga berjalan ke kamar mandi dan bersiap-siap berangkat kerja. Akhirnya, pukul sembilan pagi barulah aku berhasil menempatkan pantat di atas sebuah kursi metromini menuju kantor.

Kusandarkan kepala ke besi penyangga di atas kursi, memikirkan bunga tidur semalam. Dalam mimpiku, sepasang mata bulat macam bola tersebut hadir kembali. Ia mengintip dari balik lubang biasa, aku berdiri di depannya seperti biasa. Yang tak biasa adalah dalam mimpi itu, bola matanya tengah meneteskan airmata berwarna merah mirip darah. Kuhapus airmatanya dengan ujung lengan kemeja panjangku, namun semakin deras ia mengalir keluar. Hingga seluruh lengan baju dan telapak tanganku pun berwarna merah berlumur cairan kental yang akhirnya kuyakini benar adalah darah.

Lamunanku terhenti ketika kondektur menyenggol bahuku dengan sedikit kasar untuk meminta ongkos. Kuberikan selembar uang sepuluh ribu ke tangannya dan mendapat kembalian dua lembar uang dua ribu. Pada saat bersamaan,  seorang pria paruh baya bertubuh kurus membawa beberapa jenis koran naik dan mulai menawarkan dagangannya di dalam metromini padat ini. Mataku mendelik, mirip merampas, kuambil sebuah koran yang sedang ia acungkan dan memberinya dua lembar uang dua ribu di tangan. Pandanganku tetiba menjadi kabur dengan genangan air mata saat kubaca headline di halaman depan koran, “Mayat Seorang Wanita dan Gadis 5 tahun Ditemukan Membusuk dalam Gerbong Tua Stasiun Manggarai”.

[Jakarta, 29 Februari 2016] 

*Ini adalah lanjutan dari tulisan berantai SPASI dengan tema lagu pilihan. Setelah mendapat operan dari TOW dengan lagu Sepasang Mata Bola, kali ini saya mengoper giliran ke Saby untuk membuat tulisan dari lagu Agustin Oendari – Selamat Pagi Malam.

Nyiur : Beda Jeda, Beda Tempa

Oleh Tantri O Winata

Pengulangan dan bentuk tersekap rapi,
Di Negeri ini Ia berbaris dan berbondong
Merata pada panah beserta tanda dalam deru

Diantara nama yang melukis sepadan
Seorang gila menghampiri
Seorang gila menyebut dan berebut

Yang diberkati,
Yang dipuja,
Makhluknya.
Nyalanya.

Sebuah Mantra

Oleh Endra Rintovani

Burung-burung pagi belum terlampau riuh ketika aku menguatkan tali sepatuku dan mulai berlari pagi ini. Dua kali memutari lapangan bola sudah membuat mataku berkunang-kunang. Namun belum cukup mengurangi semangatku agar genap enam putaran walau sisanya kugenapi dengan lari-jalan kaki.

Aku percaya perjalanan dimulai dengan satu langkah yang mantap dan tegas. Walaupun nanti didepan sana kita akah berhenti entah lama ataupun sejenak. Agaknya itulah yang kujalani sebulan belakangan ini. Berlatih dan terus berlatih. Mengingat aku masih jauh dari siap untuk menghadapi kerasnya medan seleksi atau latihan nanti.

Sebenarnya, tidak adil rasanya untuk tubuhku dipaksa sedemikian ketat dengan banyak aktifitas berat, sedangkan aku sudah diberi kesempatan dari jauh-jauh hari untuk mempersiapkan diri. Tekat sudah bulat, setidaknya itu sudah lebih dari cukup. Keringat yang deras mengalir tidak menyurutkan langkah untuk terus menggerakkan kaki dan mengepalkan tangan.

Bagaimana dengan kalian? Ingatanku kembali ke beberapa tahun silam, ketika kalian berhasil membulatkan semangat dan berani terjun menyisihkan waktu, tenaga dan uang, untuk sekedar berbagi dengan adik-adik kita di Teluk Naga. Satu dari kalian mungkin sudah disibukkan dengan padatnya jam kerja dan membagi waktu mempersiapkan pernikahan yang sudah di depan mata ( yang merasa boleh untuk menyimpulkan senyum dan jangan lupa tarik nafas dalam-dalam :D). Ada juga yang sibuk menyusun dan menumpuk harapan di hubungan yang baru ( kalau yang ini saya bantu berdoa dari sini semoga dilancarkan selalu).

Oh iya, hampir lupa ada juga yang sibuk membesarkan buah hatinya dan menularkan semangat dan ceritanya lewat halaman blognya (aku doakan semuanya terus berjalan di jalurnya dan diberi kesehatan). Kemudian untuk teman-teman kita yang sibuk mencari penghidupan di kerasnya Ibu Kota, semoga masih sempat menikmati secangkir kopi atau sebatang rokok tanpa penat di kepala. Lalu untuk kawan yang baru saja menerbitkan karya keduanya dan tenggelam dalam berbagi di Cirebon, semoga benih-benih yang ditanam terus tumbuh dan berbuah manis.

Ada juga yang masih berkutat dengan urusan film dan kuliah pun diberikan kelancaran dan hujan ide yang lebat. Di pulau Dewata pun ada satu dari kita yang sedang melebarkan sayapnya dan kurasa menemukan kepingan mimpinya disana (aku harap selalu dilimpahkan kesehatan dan nikmatNya). Aku juga tidak lupa pada teman kita yang menjadi wartawan serta penggiat lini masa, semoga yang kalian sebarkan memberikan inspirasi dan manfaat.

Sampai disini agaknya tidak nyambung dengan tema tulisan tentang lagu Across The Universe – The Beatles, tapi coba perhatikan dengan seksama, lagu itu diawali dengan kicauan burung dan demikian dengan tulisan ini. Dan ya, kadang kita ga terlalu peduli dengan lagu berbahasa Inggris, yang kita pedulikan adalah memorinya–seperti halnya tulisan ini. Memori akan spasi, yang pernah ada dan bersemangat menjadi atau belajar menjadi guru untuk adik-adik kita di Teluk Naga.

“Jai Guru Deva..Om”~Praise to The Teacher..Om.

Semoga menjadi mantra dan doa penyemangat, bahwa kalian pernah menjadi guru-guru yang hebat sebelum gerakan Indonesia Mengajar lahir dan semoga menjadi karma baik kalian dimanapun kalian berada sekarang.

Namaste.

Pak Josua

Setiap kali mendengar nama Josua, hal pertama yang muncul di kepalaku adalah lagu anak-anak tahun sembilan puluhan.

Diobok-obok airnya diobok-obok. Kena ikannya kecil-kecil pada mabok.

Waktu aku masih kecil, lagu ini kerap membuat ibuku marah besar karena aku mengobok-ngobok akuarium di ruang tamu. Semata-mata ingin tau seperti apa ikan mabok itu.

Setiap kali aku berkenalan dengan orang bernama Josua, pasti aku akan sedikit menahan tertawa. Selain karena lagu Diobok-obok ini melintas di kepalaku, aku pasti akan membayangkan orang yang bersangkutan bergaya seperti penyanyi Josua di lagu itu. Termasuk ketika aku pindah divisi dan nama bos baruku adalah Pak Josua. Aku setengah mati menahan tertawa ketika berjabat tangan dan ia menyebutkan namanya.

***

Ada yang bilang, kata-kata adalah doa. Dalam hal ini, imajinasiku tentang Pak Josua mengobok-ngobok ikan sepertinya juga menjadi semacam doa. Pak Josua adalah salah satu atasan paling menyusahkan yang pernah aku punya. Hobinya beda tipis dengan Josua yang penyanyi. Pak Josua yang ini hobinya mengobok-ngobok orang.

Selama menjadi atasannya, aku tidak pernah bisa pulang tepat waktu. Tiada hari tanpa marah-marah. Dan bagian paling mengesalkan adalah ini : setiap pekerjaan bagus yang aku kerjakan akan diakui sebagai pekerjaannya.

Contoh pertama. Minggu lalu rapat dengan direksi, selama presentasi, pilihan katanya sungguh sangat egois. “Saya sudah menyiapkan beberapa bahan”, “Saya sudah memperhitungkan”, “Setelah saya selidiki”. Padahal sepanjang minggu lalu, Pak Josua cuti dua hari ke Bali dan akulah yang melakukan semua yang dia katakan sebagai hasil kerjanya. Di dalam rapat itu, aku seperti kasat mata, tidak nyata dan tidak ada.

Contoh kedua. Baru saja terjadi dua hari yang lalu. Aku sedang bersiap-siap pulang ketika tiba-tiba Pak Josua datang dan menyuruhku mengerjakan sebuah laporan analisis penjualan selama tiga tahun terakhir. “Harus selesai besok sebelum makan siang. Bisa kan ya? Kamu ngekos ini, ga ada yang nungguin kamu di rumah, bisalah pulang malem. Hahaha”. Aku hanya bisa menahan senyum kecut mendengar bercandaannya yang menurutku tidak lucu. Ketika aku membaca dengan seksama email komunikasi instruksi pengerjaan yang dimaksud, ternyata itu adalah pekerjaan dari atasan Pak Josua yang seharusnya dikerjakan sejak satu bulan yang lalu.

Puncaknya pagi ini. Masih terkait ke contoh kedua. Ketika aku membuka kotak masuk surat elektronik pagi ini, aku menerima rantai komunikasi antara Pak Josua dan atasannya. Pak Josua meminta maaf karena terlambat memberikan analisa penjualan dan secara tidak langsung membebankan kesalahannya kepadaku. “Dikarenakan terbatasnya kompetensi sumber daya di divisi ini, penarikan data memerlukan waktu yang lebih lama.”

Divisi ini hanya terdiri dari dua orang. Aku dan Pak Josua. Jadi pasti yang dimaksud tidak lain adalah aku. Terbatasnya kompetensi. Aku sungguh merasa tersinggung dicap tidak kompeten, padahal aku bisa mengerjakan laporan itu dalam hitungan jam.

Karena harus bersikap sopan di kantor, rasa marahku kusalurkan dengan imajinasi Pak Josua bertansformasi menjadi ikan-ikan kecil mabok di lagu Diobok-obok. Diobok-obok dengan kecepatan pengaduk tepung maksimal sampai badannya hancur lebur. Dalam kesal dan kemarahan yang diam aku bisa membayangkan kubangan darah bercampur serpihan daging.

***

Kata-kata adalah doa. Imajinasi juga kadang-kadang adalah doa. Sudah jam sebelas siang, Pak Josua belum datang. Tidak biasanya. Dia biasanya datang pagi, sekitar jam sembilan. Sampai tiba-tiba lantai kantorku menjadi bising. Mobil Pak Josua terlibat dalam kecelakaan beruntun tol dalam kota. Sebuah mobil pengaduk semen terjatuh keluar dari jalan layang dan menimpa mobil Pak Josua. Mobil Pak Josua hancur tak berbentuk. Begitu juga tubuhnya. Remuk.

Aku tidak tahu harus merasa apa. Sedih? Senang? Ngeri? Yang pasti aku bisa membayangkan dengan jelas. Genangan darah dengan serpihan daging. Dan sayup lagu Diobok-obok  berputar di kepalaku.

[ ]

*Spasi sedang membuat tulisan berantai dari satu penulis ke penulis yang lain dengan syarat tulisannya merupakan hasil inspirasi dari lagu. Kali ini giliran saya, setelah kena oper dari Sarah yang memberi saya lagu “Diobok-obok” nya Josua. Agak susah ya, karena ini lagu anak-anak yang ceria, sedangkan hobi saya adalah membuat tulisan-tulisan kelam. 

**Operan selanjutnya ke Endro dengan lagu The Beatles yang “Accross the Universe”

Gesrek

Tidak mudah menjadi perempuan  lajang berumur 28 tahun dengan karir cemerlang dan wajah, ehm, lumayan cantik. Reaksi pertama yang diberikan orang-orang kepo adalah “Kok belum nikah sih?” “Sampai kapan mau mengejar karir?” “Nanti dapat sisa loh!” Dan ratusan ungkapan seakan orang yang menikah itu sudah dipastikan masuk surga sedangkan si lajang sudah dipastikan kelak menghuni neraka jahanam.

Sejujurnya menikah tidak pernah masuk dalam prioritas. Bagiku sendirian cukup menyenangkan dan aman. Bukan berarti aku tidak pernah merasakan apa yang orang sebut memadu kekasih atau yang sekarang sering dipakai biar terdengar sedikit kebarat-baratan yaitu memiki seorang partner. Tapi seperti kataku, sendirian juga cukup menyenangkan.

Tidak percaya? Oh, baiklah. Pada dasarnya aku tidak peduli apakah ceritaku bisa dipercaya atau tidak. Tapi hari ini hujan terjadi hampir sepanjang hari dan membuat suasana hatiku lumayan baik. Jadi bolehlah aku bercerita tentang satu-dua manusia yang mungkin pernah membuatku ingin menikahinya.

Manusia pertama namanya Bara. Seperti namanya dia pernah cukup sukses membuatku terbakar cemburu. Ya, cemburu untukku semacam sinyal waspada. Ketika aku cemburu, mungkin aku sudah sedikit bermain hati. Kuch-kuch Hota Hai.

Bara kukenal ketika aku iseng datang ke pameran lukisan. Saat itu Bara menggunakan kaos bergambar grup band Inggris Blur yang memang kugandrungi. Aku yang memang mengoleksi kaos-kaos band nekad menghampiri dirinya untuk bertanya dimana aku bisa mendapatkan kaos tersebut.

Bukan hanya informasi yang diberi Bara, namun juga sebuah undangan untuk sarapan bersama. Menurutnya ajakan makan malam terlalu biasa. Aku mengiyakan ajakan tersebut dengan syarat malam ini kami harus bersama sampai esok pagi. Terserah apapun acaranya.

Pertama-tama, Bara membawaku ke tukang martabak yang sedang tenar di Jakarta. Kami mendapatkan urutan ke-72 yang artinya masih harus menunggu selama dua jam  sebelum martabak itu bisa kami sikat. Agar tak kelak disela pembeli lain, kami menggelar tikar di dekat tukang martabak. Karena tikar kami cukup untuk sepuluh orang, pembeli lain yang awalnya berdiri minta izin untuk bergabung.

Dua jam kami habiskan dengan bermain Janken—gunting, kertas, batu. Pihak yang kalah oleh gunting akan dicubit hidungnya. Sedangkan yang kalah dengan kertas akan ditampar dan yang kalah dengan batu akan dijitak. Agak sakit memang, tapi kami  terus bermain sambil tertawa-tawa dan  berbagi informasi tentang diri masing-masing.

Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari ketika martabak telah berpindah semua ke dalam perut. Kenyang membuat kami sedikit mengantuk. Padahal kami tidak berniat tidur. Rasanya malam ini terlalu klise jika dihabiskan dengan masuk ke kamar hotel. Akhirnya kami memilih nongkrong di kedai kopi Amerika sebagai upaya membuat badan sedikit lebih segar.

“Ini pertama kalinya aku masuk ke tempat ini,”  kata Bara setelah kami mendapatkan kursi dengan pemandangan lalu lintas kota Jakarta yang tak pernah tidur. “Aku juga, tapi bohong,” kataku menjawab sambil nyengir.

“Kamu kenapa sih kalau ngomong tidak langsung pakai titik, selalu koma,” sahut Bara sambil menyalakan rokok kretek miliknya. “Kalimatku itu titik kok, tapi memang intonasinya sengaja kubuat menggantung. Biar kamu selalu punya alasan untuk bertanya lagi dan lagi,” kataku.

Bara tersenyum mendengar pernyataanku. Senyum yang selalu kubilang mirip Gon, salah satu tokoh anime dalam film Hunter X Hunter kalau sedang menghadapi musuh yang membuatnya bergairah. Senyum yang mungkin masih sanggup membuatku mati kutu meskipun kami sudah tak bertemu sejak tiga tahun yang lalu.

“Aku selalu suka bertemu orang seperti kamu. Yang auranya seolah minta dipeluk.”

“Aku juga suka bertemu orang seperti kamu. Yang auranya minta ditendang.”

Pagi itu kami berhasil sarapan bersama di sebuah kedai roti bakar di kawasan Sabang. Bara pun meminta dengan cara yang biasa saja agar aku tetap mau berhubungan dengannya setelah hari ini. Aku bilang padanya bahwa aku tak pernah suka diminta berjanji. Kuserahkan nasib hubungan ini pada semesta. Ia setuju.

Dua tahun berlalu sejak saat itu. Dua tahun pula sebagian besar waktuku habis bersama Bara. Padahal berkali-kali Bara mengatakan kami berdua betul-betuk tidak cocok satu sama lain sehingga seharusnya sudah berpisah ketika masa bulan madu habis. Ketika Bara mengatakan seperti itu, awalnya aku mati-matian meminta penjelasan. Tapi ketika pernyataan seperti itu sudah terasa seperti gema di kepala, aku akhirnya hanya berlalu dari medan perdebatan. Aku akan kembali ketika Bara memintaku kembali. Sampai suatu hari, Bara tidak pernah menjemputku lagi.

Terserah saja, sendiri pun tak mengapa. Saat kamu terlalu sering diuji, maka kamu menjadi kebal.

Hari-hari setelahnya aku habiskan untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Semakin aku teringat tentang Bara, semakin giat pula aku bekerja. Aku meyanggupi belasan proyek dari para klien yang susah ditebak maunya. Sebagai seorang media investment, aku menangani beberapa klien yang memberikan modal cukup besar untuk belanja iklan di televisi. Pekerjaan yang cukup menyita waktu dan membuatku lupa akan Bara. Tak butuh waktu lama sampai aku dipercaya menjadi manajer karena hasil perkerjaanku. Sekian tentang Bara.

Selanjutnya mari kita beralih ke manusia nomor dua yang membuatku bersedia patah hati berkali-kali. Namanya Sagarmatha. Aku senang memanggilnya dengan sebutan Saga, mengingatkanku pada jagoan-jagoan di film-film anime favoritku. Sementara manusia lain memanggil dirinya dengan sebutan Atha atau Aga.

Dalam bahasa Nepal, Sagarmatha artinya Gunung Everest. Mungkin itu sebabnya banyak yang  rela mati-matian mendaki hatinya demi mendapatkan posisi puncak. Saga memang manusia yang sulit ditebak. Kadang kukira kami merupakan pasangan yang dijodohkan oleh takdir, kadang kukira kami sekadar teman kencan kesayangan.

Aku mengenal Saga sejak SMA. Saga ketika itu terlihat begitu berkilau dengan sederet prestasi yang pernah diraihnya. Atlet baseball, Ketua Osis dan Paskibraka Nasional membuat dirinya cukup populer diantara teman-temanku. Iya, teman-temanku. Awalnya aku tak tertarik karena meihat tubuhnya yang tinggi besar, kontras dengan tubuhku yang mungil karena aku menolak dibilang pendek.

Perbedaan tinggiku dengan Saga betul-betul signifikan. Bahkan saat ini, tinggi Saga mencapai 190 cm sementara tubuhku berhenti di 155 cm. Saga gemar sekali menempelkan sikunya pada bahuku ketika kami sedang berjalan beriringan. Kalau sudah begitu, aku akan menendang pantatnya dengan menekuk kakiku ke samping.

Kami bertemu pertama kali di kantin sekolah. Aku yang sedang bolos pelajaran Matematika mangkal di kantin untuk menghabiskan waktu sambil berpikir mau kuapakan kue ulang tahun yang baru saja diletakkan seorang penggemar rahasia di atas meja. Sayang penggemar itu kurang observasi. Akan lebih menyenangkan kalau dia tahu kalau aku tidak menyukai kue dengan lapisan krim. Lebih baik dia memberikan lontong berisi oncom.

Tidak bijaksana rasanya kalau kue itu kubuang bergitu saja. Tapi kalau diberikan kepada teman lain dan kebetulan ia melihatnya, mungkin bakal tersinggung. Meskipun aku tak begitu peduli pada perasaan orang lain, tapi kukira kalau sedang berulang tahun harus berlaku sedikit baik. Kuputuskan untuk memberikan kue itu kepada orang-orang di kantin.

Saat itulah Saga yang baru saja berlatih sepak bola muncul di kantin. Melihat kue ultahku, dia ingin mencicipi. Kuberikan padanya dengan segera dan menawarkan untuk menghabiskan saja semuanya. Saga melahap kue tersebut tanpa malu-malu.

“Aku Saga. Makasih ya kuenya enak,” kata Saga setelahnya. “Aku kelas tiga. Kamu kelas berapa?”

“Panggil saja aku Cho. Namaku susah. Aku kelas satu,” sahutku.

“Bukan Choki-choki kan?”

“Chomolungma.”

“Wah, kamu juga Gunung Everest!”

Iya. Aku si Gunung Everest dalam bahasa Tibet. Orangtuaku memberi nama itu dengan harapan aku tumbuh menjadi manusia tangguh seperti sang gunung. Namun tak hanya tangguhnya gunung yang kuadopsi. Banyak yang bilang pribadiku sedingin salju.

Sejak perkenalan itu kami sering terlihat bersama. Sesekali Bara mendatangiku untuk sekedar mengobrol ngalor-ngidul. Namun aku tak pernah sengaja datang ke kelasnya karena malas berurusan dengan kakak kelas yang memandangku dengan sinis. Bukannya aku takut, hanya menurutku kurang menyenangkan bertengkar dengan perempuan yang pandai memakai mulut. Berisik.

Padahal kalau para penggemar itu tahu kebenarannya, Saga setengah yakin bahwa aku sejatinya pecinta perempuan. Saga bahkan sempat bertanya ketika aku tertangkap mata sedang memandangi adik kelas kami yang bak porselen boneka lolita. “Entahlah. Tapi dia cantiknya gak wajar dan aku suka,” jawabku saat itu.

Kami juga bergaul di luar sekolah. Biasanya menonton bioskop jika ada film-film yang menarik, atau sekedar menghabiskan waktu di toko buku. Seringnya Saga yang menemani diriku yang mudah terlarut dalam bacaan. Dia cukup sabar menunggu satu-dua jam sebelum kemudian mencolek-colek aku kalau kakinya mulai pegal. Atau dia memilih jalan-jalan keliling mall sendirian sampai aku puas membaca.

Sebenarnya aku tak tahu jenis hubungan seperti apa yang kami jalani. Dahulu bahkan aku tak tahu kalau kami terlihat cukup dekat di mata-mata murid-murid lain. Kepopuleran Saga bahkan sudah termasyur di sekolah-sekolah lainnya. Sampai ketika beberapa perempuan mencegatku ketika pulang sekolah. Mereka memaksaku menjawab pertanyaan tentang Saga kalau tidak mau ditelanjangi.

Aku menolak menjawab pertanyaan apapun. Ketika dua orang perempuan berusaha menahanku, kutendang perut yang satu dengan menggunakan lutut. Satu orang lagi kutonjok mukanya dengan  sekuat tenaga. Begitu keduanya tumbang, satu orang lainnya lari ketakutan.

Belum puas sampai disitu, kutonjok kembali muka keduanya bergantian. Darah segar mengucur dari mulut dan hidung. Mereka mengucap ampun sambil menggelepar-gelepar. Setelah kuingat-ingat, terakhir kali aku menghajar seseorang ketika kelas 4 SD. Bukan salahku kalau aku kangen perasaan berkuasa bukan? Toh, mereka yang menantang.

Setelah keduanya tak berdaya, aku meminta keduanya untuk duduk. Aku mengambil gunting dari dalam tas dan menyuruh keduanya memangkas rambut masing-masing. Jika menolak akan kuhajar sampai mati.

Perbuatanku ini ternyata berbuah panggilan dari sekolah. Orangtua mereka mengadu kepada kepala sekolah dan menuntutku dihukum berat.  Aku bersedia dihukum selama ketiga pencundang tersebut juga diberikan hukuman yang sama. Aku tidak terima dihukum sendiri mengingat bukan aku yang mencari perkara.

‘Kamu kan bisa mengalah. Kenapa sih dilayani? Sok jagoan?”

“Kangen nabok orang.”

“Kalau kamu dikeluarin dari sekolah gimana?”

“Yaudah, cari sekolah lain. Gitu aja kok repot.”

“Kamu keras kepala.”

“Kamu bawel kayak pembantu baru.”

Tiba saatnya Saga lulus dan aku naik ke kelas dua. Saga melanjutkan kuliah di Bali dan aku masih menjalani kehidupan sekolah. Pada awal kuliah Saga beberapa kali mengontak untuk berbagi cerita. Namun lewat tiga bulan telponnya berhenti sama sekali.

Sekarang genap tahun ke-12 aku mengenal Saga. Kami memang sempat beberapa kali bertemu meskipun masih dalam hitungan sebelah jari tangan. Aku selalu senang setiap saat itu datang. Saga pasti hadir dengan cerita-cerita baru, bahkan profesi baru. Setelah mencicipi menjadi dosen, pegawai pajak, desainer grafis, broker saham, kini dia mencoba peruntungan menjadi pilot pesawat tempur.

“Aku gak pernah takut pindah kerja. Yang penting gajinya selalu nambah!” kata Saga ketika ada yang khawatir dia tak lagi bersama dewi fortuna dalam peluang karir.

**

“Cho, nikah yuk..”

“Eh?”

“Ayo kita nikah. Aku sudah masuk lima syarat pendamping hidup yang kamu cari bukan?”

Diantara 100 ajakan ketika menjemput seseorang di bandara, baru kali ini aku diajak menikah tiba-tiba oleh orang yang hanya kutemui dalam hitungan sebelah jari dalam waktu enam tahun.

“Emang apa aja?”

“Sudah kenal minimal lima tahun, pendidikan minimal setara sama kamu, punya pekerjaan yang tidak melanggar norma agama dan kedaulatan negara, bisa masak, dan sudah bosan selingkuh.”

“Lagi gesrek ya? Baru juga ditinggal setahun. Gimana aku tinggal sekolah sampai S3?”

“Eh?”

“Gesrek gak! Kalau kamu sekarang lagi gesrek, ajakan menikah kita anggap gak ada. Kalau serius, kita nikah bulan lima!”

“Beneran?”

“Enggak, aku bercanda. Kan dulu katamu aku lesbi!”

“ Itu aku bercanda!”

“Bodo. Terlanjur sakit hati!”

Tana Paser, 23 Januari 2015

Balada Si Petani

source : (lukisanlukisanku.blogspot)
source : (lukisanlukisanku.blogspot)

Setiap orang pada masa kecil pasti pernah ditanya “cita-cita kamu nanti jadi apa?” dan mereka selalu menjawab yang keren-keren. Seperti kawanku, Yono, ia selalu bangga dengan cita-cita yang diimpikannya “aku mau menjadi pilot!” teriak Yono di depan kelas.

Teman-teman lain, seperti anak kecil pada umumnya ada yang mau menjadi dokter, insinyur, tentara. Cita-cita yang mudah ditebak, menurutku. Sampailah Bu Rosa, guru kelasku masa itu bertanya padaku. Aku berdiri di depan teman-teman memperkenalkan nama dan mengucap cita-cita, “saya ingin jadi petani!”.

Sontak murid-murid dalam kelasku menghamburkan riuh tawa mereka, termasuk Yono. Aku masih terdiam di depan kelas, tidak peduli mereka menertawakanku, tapi itulah cita-citaku. Bu Rosa menyuruh semua anak-anak berhenti tertawa dan berkata bahwa setiap orang bisa menjadi siapa saja yang diinginkannya. Sebetulnya Bu Rosa berusaha menghiburku, pun aku juga tidak masalah dengan tawa teman-temanku.

Mulai saat itu, teman-temanku meledekku dengan panggilan “Pak Tani, jangan lupa cangkulnya!” atau “Kebomu sudah dimandiin?”.

Beranjak dewasa, bahkan aku mendengar band ternama di negeri ini menyanyikan lagu berjudul Pak Tani.

Nggak mungkin, nggak mungkin semua itu terjadi 103 tahun mungkin…

Kata lirik lagu itu, seorang petani nggak mungkin punya mobil mewah, rumah mewah dengan alarm dan bergaya layaknya wong gedongan. Kebetulan lagu itu sering diputar di radio dan teman-teman sering mendengar. Makin menjadilah Yono dan temanku lain yang dulu tahu cita-citaku. Mereka terus menerus mengejekku.

Ah mereka saja yang payah! Mereka tidak pernah berkenalan dengan Eyang Jarwo, jadi tidak tahu alasanku. Sebetulnya simpel, aku suka melihat kehidupan Eyang Jarwo yang santai, kerap dikenal setiap penduduk desa saat ia berkunjung dari satu desa ke desa lain, dengan ukulele di pundaknya yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi, ia bisa bernyanyi kapanpun dia suka, makan tanpa membeli sembako, mempunyai lahan pertanian dan perkebunan luas, mobil jip gagah terpampang di halaman kebunnya, rumahnya pun bisa dibilang cukup mewah terletak di tengah bukit. Aku bertanya pada Mamak ku, apa pekerjaannya Eyang Jarwo, dan Mamak ku menjawab seorang petani.

Hal langka memang menemukan seorang anak yang bercita-cita sebagai petani di kota metropolitan seperti sekarang ini. Tapi setidaknya ada satu orang yang ketahuan ingin menjadi seorang petani dan itu aku. Dan ketika kecil aku juga tak ada pikiran apapun kecuali ingin seperti Eyang Jarwo. Mana ada pikiran ngomong masalah ketahanan pangan negeri lah, menanam kebun organik, atau apapun itu.

Keinginanku menjadi seorang petani semakin besar. Aku memilih untuk belajar pertanian di suatu universitas yang memiliki fakultas pertanian dan selalu bermimpi apabila aku menanam satu benih pohon akan berkembang menjadi hutan besar. Tak hanya itu saja, aku pun ikut serta dalam gerakan pro petani dan membantu para penduduk di desa mengembangkan sektor pertanian dan perkebunan, memperjuangkan lahan sengketa, yaaahh seperti aktivis pada umumnya. Itu semua karena pengaruh kekagumanku pada Eyang Jarwo.

Ketika aku kecil dulu, aku pernah berkunjung ke rumahnya di tengah bukit dengan sisi kiri dan kanan perkebunan miliknya yang ditanami berbagai macam tanaman dari buah, sayuran, bunga sampai tanaman obat-obatan. Di sisi lain, sawah terhampar luas dan aku selalu senang berkunjung ke rumah Eyang Jarwo. Semenjak itu, dialah yang menjadi panutanku.

Sampai akhirnya saat ini aku sudah betul-betul terjun ke dalam dunia pertanian dengan hasil kerja kerasku bertahun-tahun. Memupuk perkebunan kecil sendiri, demi seperti Eyang Jarwo dan aku baru tahu ternyata aku salah besar. Saat Eyang Jarwo mati barulah aku tahu perkebunan itu bukan miliknya.

***

“Man! Darman!”

Aku mendengar seseorang memanggilku dari kejauhan, aku menoleh dan melihat tidak ada siapa-siapa. Aku kembali berjalan menuju loket check in pesawat di dalam bandara. Seseorang memanggil namaku semakin kencang. Ah paling petugas imigrasi memanggil nama orang lain yang sama seperti namaku.

“Darman! Ini aku, Yono!”

Aku kaget ketika melihat wajah Yono berada tepat di sampingku. Dia menjabat tanganku dan merangkulku dengan erat. Kulihat Ia berpakaian layaknya seorang pilot pesawat terbang kepunyaan pemerintah. Ternyata cita-citanya tercapai juga. Giliran dia bertanya padaku, apa kegiatan ku sekarang.

“Apa? Kau betulan jadi seorang petani dan sekarang akan ke Australia demi mengunjungi pertemuan petani seluruh dunia? Widiih keren kau, sudah go internasional!”

Dengan sedikit senyuman menyungging, aku cuma bisa berkata dalam hati : Biasa aja, Keleeus!

*cerita ini hanya fiksi belaka kalau ada persamaan nasib, ah itu hanya perasaan saja.

Sudah Jangan ke Jatinangor (atau Bandung)!

Ini merupakan usaha Spasi untuk resurjensi dari mati surinya. Tidak begitu berbeda dengan apa yang pernah kami kerjakan tempo hari, proyek kali ini adalah menetapkan satu tembang lagu ke salah satu dalam lingkaran Spasi untuk diinterpretasi ulang menjadi sebuah tulisan. Lalu repetitif, setelah tulisan selesai, si penulis berhak untuk menugaskan yang lain untuk menulis dengan metode estafet.

Oke, saya menerima lemparan kedua. Pungky sebagai pionir telah mengalihwahanakan apa yang ia dengar, hingga hasil akhirnya bisa disimak di sini. Pungky memberi saya lagu dari The Panas Dalam, Sudah Jangan ke Jatinangor. Sesuai ide proyek kali ini, saya harus membuat tulisan dari lagu tersebut. Berhubung saya sedang malas berpikir untuk mengetik cerita pendek, prosa, apalagi puisi, lebih baik saya curhat saja. Lagipula, bukankah itu yang kalian tunggu? Hahaha.

Sebagaimana Pungky yang telah saya kenal selama lebih kurang 5 tahun, keparat sudah menjadi sifat alaminya. Setelah saya telaah, dengan bengis ia memberikan saya lagu yang liriknya begitu beringas. Hahaha. Ia adalah udang dan lagu ini adalah batunya. Saya yakin Pungky menyeringai puas saat melempar lagu ini.

***

Untuk informasi, The Panas Dalam adalah band yang berasal dari Bandung. Band tersebut dibentuk oleh Pidi Baiq, yang buku-bukunya juga memenuhi rak buku saya. Lirik-lirik dalam lagu The Panas Dalam beraroma komedi satir, menjurus ke sarkasme.

Lalu apa hubungannya dengan kebangsatan Pungky? Saya mencoba menjabarkannya pelan-pelan.

Saya coba memenggal bait pertama dan refrein lirik lagu The Panas Dalam.

Sudah jangan ke Jatinangor
Ia sudah ada yang punya
Lebih baik diam di sini
Temani Aa bernyanyi di sini

 Reff

Ini asmara itu asrama
In harmonia progresio

Dalam lagunya, The Panas Dalam melarang untuk pergi ke Jatinangor. Ya memang Jatinangor bagian dari Sumedang, bukan Bandung. Tetapi karena bertetangga, tak apalah saya malah bercerita tentang Bandung. Dalam gerakan semesta yang paralel, Bandung menjadi salah satu kota yang menurut saya, ehmm apa yaa, romantis, mungkin? Haha.

Begini, dulu saya berpacaran dengan seseorang yang menghabiskan masa kuliahnya di Bandung. Semasa saya berhubungan dengannya, beberapa kali saya pelesir ke Bandung. Sehingga dalam kurun rentang waktu terakhir, Bandung terasa dekat tak hanya dari segi geografis, tetapi juga emosional.

Kunjungan saya bersamanya (-nya di sini masih menggantikan orang yang sama) pertama kali saya ke Bandung sekitar tahun 2010. Ia mengajak saya menghadiri acara fakultas seni institut teknik negeri di sana yang diadakan secara berkala. Seraya menggandeng saya berkeliling menikmati pagelaran festival seni tersebut, ia mengenalkan kampus yang juga menjadi almamater kebanggaannya.

Nah, kunjungan itulah yang membawa saya menonton The Panas Dalam konser untuk pertama kali serta mengenal Pidi Baiq lewat buku hasil karyanya yang saya beli di sana. Kebangsatan Pungky belum berakhir sampai di situ. In harmonia progresio yang tertera dalam lirik adalah moto kampus mantan pasangan. Lihat ‘kan? Betapa Pungky memiliki kebangsatan yang terorganisir, terkonspirasi, serta terintegrasi dengan memberi lagu itu kepada saya. Ini semakin menunjukkan bahwa Pungky memang layak dihadiahi miliaran kata maki dan penilaian saya terhadapnya (-nya di sini menggantikan Pungky) tak pernah salah.

Setelah kunjungan pertama itu, ada beberapa kunjungan lain di belakangnya. Ada beberapa cerita yang lebih baik saya dan ia simpan, tapi salah satu yang bisa saya ceritakan adalah saat menonton band Melancholic Bitch medio 2013 silam.

Melancholic Bitch, band yang konon katanya, berhenti sampai di situ, karena jarangnya mereka tampil menyebabkan mereka hanya konon katanya. Mereka berhasil memperkosa saya untuk berkorban. Walau jauh dari Jakarta, Bandung adalah dimensi waktu dan geografis yang sangat dekat untuk mendengarkan dongeng tragis tentang sepasang marjinal yang harus menahan lapar di balik imajinasi mendayung gondola di Venesia. Saya datang bersamanya (iya masih) dengan sepasang kaos Joni dan Susi, persis seperti apa yang mereka kisahkan dalam tiap lagunya.

Untuk tulisan lengkapnya, bisa dibaca di sini.

Jadi iya, saya dan Bandung memiliki keterikatan secara emosi, mungkin juga afektif. Maksud Pungky baik mungkin tulus (walaupun saya skeptis), ia mengingatkan saya untuk tidak terlalu nostalgia dengan Jatinangor (atau dalam tulisan ini saya paksa menjadi Bandung). Kini, jejarinya (-nya di sini kembali untuk menggantikan mantan pasangan) sudah penuh untuk digenggam seperti dalam lirik lagu Djatinangor, Ia sudah ada yang punya.

Bukan, tulisan ini bukan untuk memenangkan hatinya (-nya masih sama seperti atas) kembali. Mungkin jidatnya berkerut, mata memicing, dan memonyongkan bibir saat membaca ini. Tapi ketahuilah, saya sangat senang. Tulisan ini hanya untuk memberikan senyum dalam bentuk teks kepadanya dan mengingat-ingat ulang apa yang pernah saya dan ia lakukan di Bandung.

Tulisan lengkap tentang si mantan pasangan bisa disimak di buku kedua saya, semoga bulan-bulan awal 2015 sudah bisa dibeli. Atau, kalau perlu beli buku pertama saya di sini terlebih dahulu agar ada kesinambungan cerita (biarin weeeek! :p).

Sesuai dengan larangan The Panas Dalam, kecuali dapat undangan pernikahan teman, saya rasa dalam waktu dekat Bandung tidak tercantum dalam agenda pribadi. Lebih-lebih pula ada kota yang melekat erat di kepala dan lebih menyenangkan untuk diketik.

***

Melanjutkan kontemplasi atas lagu The Panas Dalam, secara kasar benar kata mereka.

Sudah jangan ke Jatinangor
Masih ada kota lainnya
Perempuan tak cuma dia
Ada 3 miliar 21

Tapi coba saya hitung kembali. Tiga miliar dua satu, anggap saja tiga miliar. Namun saya mengecilkan probabilitas sesuai beberapa asumsi yang rasional. Saya tinggal di Jakarta, oleh karenanya saya hitung menurut faktor geografis. Rasa-rasanya saya tak mungkin mencari pasangan di Bogota atau Reykjavik. Oleh karena itu, saya olah berdasarkan penduduk Jakarta. Menurut data penduduk Jakarta tahun 2010, saya bulatkan menjadi 10,200,000. Hingga saat ini, saya masih heteroseksual, jadi kiranya saya hanya memilih satu jenis kelamin saja, perempuan. Saya asumsikan perempuan di Jakarta adalah setengah dari jumlah penduduk, yaitu 5,100,000.

Dari sisa jumlah tersebut, saya harus mengurangi lagi dengan batasan umur. Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, batas umur untuk dinikahi adalah 17 tahun. Saya tambahkan dengan batas atas umur saya sebanyak 5 tahun. Saya asumsikan jumlah perempuan berumur 17-33 adalah 50% dari 5,100,000.

Dari situ, saya harus mengurangi lagi dengan jumlah perempuan yang sudah menikah. Lalu saya kurangi lagi dengan jumlah perempuan yang belum menikah, tetapi sudah berpasangan. Saya harus memasukkan ini, karena saya tidak mau mengganggu hubungan orang lain (hahaha tahi!). Lalu setelah itu, saya memasukkan faktor krusial lainnya, kesamaan selera musik. Bagi saya ini adalah faktor penting. Selera musik adalah cara saya memahami karakter dan salah satu topik yang menarik untuk diobrolkan, selain tentunya bisa menjadi suatu media untuk berkencan nantinya.

Sesudah selera musik, faktor selanjutnya adalah tingkat intelejensi. Saya butuh pasangan yang mampu mengerti tingkah polah dan pembicaraan bodoh saya yang kadang-kadang di luar logika dan batas kemanusiaan untuk menganggapnya itu adalah hal yang banal. Senada dengan faktor selanjutnya, kepekaan terhadap humor. Saya menganggap hidup adalah candaan terbesar tuhan yang dimanifestasikan oleh alam semesta, jadi saya butuh pasangan yang berfrekuensi sama terhadap candaan alam semesta ini.

Agama mungkin bagi saya tidak begitu masalah. Tapi mengacu pada hubungan saya sebelumnya (iya yang tadi saya bahas di atas), ternyata agama adalah salah satu faktor penting dalam mencari pasangan. Terpaksa saya masukkan, walau bukan prioritas (hahaha). Lantas domisili, bagi saya domisili yang bisa dijangkau oleh angkutan umum adalah faktor penting karena saya tak punya kendaraan di Jakarta (tapi akan, nantinya).

Saya juga harus mengurangi dengan orientasi seksual calon pasangan. Tidak lucu jika kelak saya mendekati calon pasangan dan ternyata ia adalah homoseksual. Saya tidak mau menjadi pria tomboi. Lalu frigid, saya yakin ada beberapa orang yang tidak mempunyai nafsu seksual. Sehingga saya harus mengurangi dengan faktor kefrigidan (sesuai EYD?).

Jika sudah melewati beberapa faktor, maka saya harus melihat reaksi kimia yang terjadi antara saya dan ia (si calon pasangan). Hal itu termasuk selera musik, kepekaan humor, pembicaraan yang mengalir, dan lain-lain yang agak sulit untuk dijabarkan karena terlalu abstrak.

Walaupun orangtua saya bilang, “Kamu terserah mau cari pacar yang kayak gimana, mama sih bebas asal kamu seneng aja,” nyatanya tidak demikian. Tetap saja, sebagai orang yang menganut budaya ketimuran, saya harus menunggu anggukkan atau gelengan kepala dari orangtua. Oleh karena itu, sebagai pamungkas saya masukkan faktor restu orang tua.

Untuk lebih jelasnya, saya salin tempel formula saya di bawah ini.

iseng

Mengapa ada ‘Jumlah mantan’ di akhir? Serius masih bertanya?

Sehingga dapat dilihat di bagian paling bawah tabel, hanya ada 8 calon pasangan yang bisa saya dekati. Jadi kalau nanti ada teman atau kerabat atau handai taulan kamu yang berucap, “Jangan khawatir, masih banyak ikan di laut!” kamu bisa membalasnya dengan, “Ikan ga ada yang lesbi, tauk!”

Ya begitulah manusia, tadinya hanya untuk berkembang biak, namun karena dikutuk tuhan melalui pemberian akal, manusia-manusia malah menyusahkan dirinya sendiri dengan apa yang disebut cinta.

Mungkin kamu bisa memakai perhitungan ini untuk dirimu sendiri. Dengan asumsi dan kriteria yang tidak seabsurd ini, tentunya. Dan hei, The Panas Dalam! Kamu masih jadi daftar putar saya kok (hahaha)!

[Cirebon. 31 Desember 2014. 01:30 AM. Fikri]

Alpha Andromeda

Alpherarz

“Boleh tanya sesuatu? Tato yang dekat nadi kiri kamu, gambar apa sih?”

“Oh, ini.. Alpheratz..”

“Alpheratz?”

Akhirnya pertanyaan itu keluar juga. Sesuatu yang tak pernah ditutup-tutupi, tapi juga aku berharap tak usah ada yang tau. Tak kusangka pertanyaan yang diam-diam kunanti dalam pasrah itu, mengantar kami pada malam yang panjang dan… ribet.

Namanya Sha, selain cantik, bentuk tubuhnya sangat indah untuk dijamah. Rambutnya hitam berkilau bergelombang, bibirnya tipis merah jambu sering digigit-gigit sendiri, kulitnya cokelat muda khas perempuan jawa. Sungguh, dewa sekalipun pasti cemburu dengan keberuntunganku bisa meminangnya. Aku akan menikahinya, si tubuh sempurna impian liar jutaan pria.

Hanya saja isi kepalanya tak pernah seindah tubuhnya. Tuhan cukup adil. Tak diberikan untuknya seksi versiku atas perempuan. Sha punya jalan pikiran biasa, apa adanya, dan tidak menarik untuk diajak minum kopi lama-lama. Cantik yang sangat membosankan.

“Bintang paling terang di salah satu rasi. Gak penting. Aku cuma suka karena namanya”

“Rasi???”

Sha mengetuk berulang meja dengan ujung telunjuknya yang berkutek merah menyala. Kecurigaan khas perempuan teraut di wajahnya. Aku harus jawab apa? Toh apa yang terukir di nadiku memang bintang. Memang aku suka karena namanya.

“Pasti punya arti spesial..”

“Kalau iya emang kenapa?”

“Siapa?”

Satu kata terakhir dari Sha mengantarku pada keseksian di masa lalu. Pemiliknya adalah seorang perempuan dengan penampilan biasa, wajah biasa, bentuk tubuh super-biasa. Namanya Meda, mantan kekasihku yang pulang pada prinsip. Meninggalkanku karena kesetiaan kami pada aturan orang tua. Dada bagian dekat payudaranya penuh dengan tato garis dan titik. Lukisan rasi bintang yang terpaksa membuat kami saling melepaskan, karena keteledorannya melepas jaket di depan orang tuaku. Sebuah gerakan yang memisahkan kami selamanya.

Tak ada yang lebih menyedihkan dari perpisahan tanpa keinginan. Kami sama-sama saling mencintai, demi tujuh lapis langit, aku sangat sangat ingin memilikinya sebagai pasangan hidup. Tapi orang tuaku punya undang-undang yang tak bisa dilawan. Katanya, haram bagiku memacari perempuan dengan tato dan celana penuh lubang. Kami berpisah karena pasrah. Kami saling melepas tanpa pernah ikhlas.

“Oke, kalau kamu gak mau jawab yang itu. Pertanyaan aku ganti, apa artinya buat kamu?”

“Dia itu hidup, Sha. Dia yang ngajarin aku untuk gak pernah takut sama rasa takut. Alasan dia punya tato sejuta kali lebih seksi daripada alasan kamu pakai kutek dan hak sepatu 10 senti. Kenapa dia pakai jeans penuh sobekan, lebih bisa aku terima daripada keinginan kamu punya tas harga setengah milyar”

Mukanya memerah, andai kami tidak sedang di tempat umum, sudah pasti cangkir penuh teh itu melayang ke wajahku seperti kejadian lazim di sinetron. Entah cemburu, entah merasa kecantikannya tersaingi oleh perempuan biasa. Tapi pada kenyataanya, Sha sangat tidak menarik untukku. Tidak pernah memiliki seksi melampaui Meda. Tidak pernah.

“Tato? Jadi kamu punya tato itu karena pengaruh buruk dia? Siapa namanya? Boleh aku tau?”

“Andromeda..”

Sha memejamkan matanya, nafasnya menderu tak teratur. Aku tau dia kecewa. Tapi dia sendiri yang membuat malam ini menjadi panjang dan ribet. Dia mengacak-ngacak isi tasnya, mencari sesuatu sambil menahan air tumpah dari mata. Aku hanya menatapnya, mengaduk-aduk isi cangkirku yang tinggal ampas.

“Ini, aku balikin..”

Sebuah kalung, kuberikan padanya dua bulan lalu karena disuruh Papa. Tanda pertunangan, ceritanya. Kalung berbentuk titik dan garis, sebuah rasi, Andromeda namanya. Sha berdiri, pergi. Mungkin ia juga akhirnya berpulang pada prinsip. Pada aturan yang tahtanya tetapkan. Dan aku tetap duduk sambil mengaduk-aduk sisa ampas kopi di dasar cangkir, membentuk garis dan titik dengan ujung sendok, andromeda namanya.

 —

Seleksi Pemimpin Melankolis

kwn.a.xi_.1.03-partisipasi_politik-8760_197x200

Menjelang Pilpres, saya jijik melihat jejaring sosial. Begitu menjijikkannya, sampai-sampai timeline ABG yang baru didera patah hati saja terasa seperti novel sastra kelas dunia. Begitu menyedihkannya, sampai-sampai penggemar kedua kubu calon presiden seperti anak remaja yang tak mau ramalan cinta bintang zodiaknya menjadi bahan kelakar. Begitu memprihatinkannya, sampai-sampai gaya rambut ala boyband kekinian pun terasa lebih maskulin daripada ucapan tim sukses yang berkelit dari tuduhan.

Antusiasme masyarakat yang meledak-ledak menjadi lauk-pauk dengan nutrisi tinggi bagi para media. Mereka berlomba-lomba memublikasikan hal-hal berbau politik. Apapun bisa menjadi berita, dari ucapan narasumber, blunder kandidat, hingga manuver tim sukses. Semua dilakukan agar jempol penguasa remote televisi di rumah-rumah tidak menekan tombol lain saat berita mereka mengudara. Demi daya tarik, hiperbola, mereka rela menjual jiwa mereka dan melakukan perjanjian terlarang dengan setan. Yang penting rating tinggi, dengan begitu bisa diselipkan pariwara produk ekstrak kulit manggis atau obat ketiak, tentu saja berjuta-juta sudah masuk ke dalam neraca pendapatan.

Saya kira setelah pemilihan presiden 9 Juli, jejaring sosial akan kembali seperti sedia kala. Kembali menertawai kesepian dan melaknat kesendirian (lajang adalah komoditi di jejaring sosial). Nyatanya saya salah, salah besar! Jejaring sosial menjadi lebih menjijikkan dan menyedihkan lagi. Saya kira bakal ada komat-kamit basa-basi (bahkan bisa saja lipsync) selamat bagi pemenang pemilu dan bumi akan tetap berputar. Lagi-lagi saya salah, salah besar. Bumi memang tetap berputar, hanya menjadi lebih drama.

Tak salah memang. Pilpres ini jika dilihat dari atas, seperti sebuah plot sinetron drama. Berbicara tentang sinetron, tentu saja ada tokoh protagonis dan antagonis. Ini adalah analisis prematur saya: Tokoh protagonis diperankan capres yang menghindar dari tuduhan antek komunis, agen amerika, dan pro zionisme. Begitu teraniayanya sehingga secara logika saya juga tidak mengerti dengan tuduhan ini. Bagaimana bisa seorang komunis sekaligus menjadi kapitalis di bawah kepemimpinan Yahudi? Jika Gengis Khan masih hidup, bisa jadi ia akan berpaling menyembah capres itu lalu mengabdi padanya untuk menguasai dunia.

Sementara untuk tokoh antagonis diperankan capres yang sibuk meliuk-liuk dari kejahatan HAM yang memang lekat erat pada personanya. Latar belakang yang sudah sangat mendukung untuk menjadikan dirinya sebagai karakter berwatak bengis, bukan? Walau sampai sekarang masih baur, dosa-dosa masa lampau tersebut dialamatkan padanya dan tak mau pergi.

Konflik sudah jelas, perebutan kursi presiden dan wakil. Tokoh pendukung diperankan oleh tim sukses masing-masing. Tentu saja dengan peran seperti sinetron yang sudah-sudah. Tokoh pendukung protagonis berperan menenangkan, sedang tokoh pendukung antagonis berperan untuk berperang.

Sampai kapan drama ini berakhir? Biasanya di akhir episode, antagonis berangsur lamat-lamat menjadi satu lingkaran utuh dengan protagonis. Kemudian sama-sama membungkuk ke arah kamera, “Kami segenap jajaran keluarga besar mengucapkan Selamat Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin!” lalu layar menghitam dan disusul oleh barisan nama kru pendukung sinetron. Hahaha. Sayangnya skenario tidak berakhir sampai di situ. Masih ada babak tambahan hingga detik ini, protagonis belum teraniaya secara maksimal dan masih meloncat-loncat, jauh dari mati.

Biasanya ada tiga hal yang akan membuat sinetron seperti ini berakhir. Sebab pertama adalah sutradara sudah kehilangan ide untuk meneruskan cerita agar tetap menarik. Sebab kedua adalah produser sebagai penyandang modal sudah kehabisan dana, padahal pemasukan belum pasti didapat. Sebab terakhir adalah penonton sudah bosan dijejali cerita yang membosankan, tertebak, dan mengada-ada.

Saya tak akan heran jika pada 5-10 tahun mendatang, benar-benar akan ada sinetron drama super melankolis yang mengangkat pilpres kemarin sebagai tema (itu juga dengan catatan kalau sutradara dan penulis naskahnya tidak diculik atau dikafirkan, hahaha).

*gambar dari sini.

**ditulis untuk memenuhi tugas bulanan kumpulanspasi.wordpress.com dengan tema: Pilpres.

[Cirebon. 24 Juli 2014. Fikri]

Apatis

Dia mematikan televisi. Muak. Koran bertumpuk di depan pintu. Tak tersentuh. Muak dengan isinya. Bisa tidak cepat-cepat bulan Agustus saja. Supaya isi semua berita tidak lagi menyoal pemilihan umum. Baru pertama kali memilih pemimpin jadi persoalan mengganggu tidur.

Dari dulu dia selalu bilang “Gw apatis.” Dan masih berencana menjadi apatis tahun ini. Tidak ada yang bisa dipercaya. Sampai beberapa hari yang lalu. Diputus cinta gara-gara apatis. Entah apalah yang ada di kepala mantan pacarnya itu, bisa-bisanya memutus cinta karena melabel diri apatis. Sialan.

“Kamu benar-benar egois sekali ya. Kalau ga peduli sama aku, aku paham. Kamu larut sama dunia kamu sendiri, silakan. Tapi kalau ga peduli sama negara kayak gini, kamu benar-benar sakit.”

Semua orang harusnya tetap bisa bersikap baik dan penuh integritas menaati rambu lalu lintas siapa pun presidennya, apa pun partainya. Pemilhan umum kali ini katanya berbeda, entahlah dia enggan untuk percaya.

Dia masih menunggu suatu hari di mana dia bisa menyeberang jalan di zebra cross tanpa harus takut ditabrak mobil, atau menaati lampu kuning yang kemudian memerah tanpa kesal karena diklakson puluhan mobil lainnya. Mungkin kalau saat itu sudah datang, dia akan menanggalkan jubah apatisnya.

Sebelum saat itu datang, dia masih dan akan terus selalu berdiri di bawah label itu. Apatis.

[ ]